Permodalan BUMD Batubara Nan Sesak Tanda Tanya

 


BUMD: Bukannya Untung Malah Defisit. Itulah terminologi plesetan yang dilontarkan orang-orang yang punya perhatian terhadap dinamika pembangunan di Batubara saat ini. Entahkah itu mewakili anggapan mengenai daya kemampuan keuangan pemerintah Kabupaten Batubara, atau memang fokus pada badan usaha plat merah yang terus mendapat sorotan publik. 

Mengenai itu beragam tanda tanya tak pelak menggenang jua, baik tersampaikan secara terbuka, maupun sekadar jadi diskursus di belakang meja.

Akronim perusahaan yang sahamnya turut dikuasai pemerintah daerah tersebut, belakangan kembali mengemuka. Pasalnya, baru saja berselang, dalam dokumen KUPA dan PPAS terdapat usulan untuk menyuntikkan lagi kocek ke uncang BUMD, dengan nilai yang terbilang fantasis untuk ukuran daerah:Rp.10 Miliar. Lagi.

Memang, usulan yang berasal dari Tim Anggaran Pemerintah Daerah itu akhirnya mendapatkan penolakan dari ranah legislatif, yang disampiakan melalui pendapat akhir fraksi-fraksi di institusi perwakilan rakyat. Nyaris seluruh legislator yang jadi juru bicara fraksinya menyinggung perihal adanya persoalan dengan regulasi di negeri ini.

Namun kejelasan mengenai alasan penolakan itu, diutarakan Fraksi PDI Perjuangan pada pendapat akhirnya pada Sidang Paripurna guna pengambilan keputusan mengenai KUPA-PPAS 2025. 

Disampaikan mengenai adaya Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2024 Tentang Pedoman Penyusunan Anggaran dan Belanja Daerah Halaman 13 Huruf (d) yang menyatakan penyertaan modal daerah tidak dapat dilakukan pada perubahan APBD tahun berkenaan.

Kita, tentu saja berterimakasih terhadap pendapat-pendapat dewan perwakilan rakyat yang berujung penolakan itu. Karena, jelas ada pembiayaan lain yang lebih urgen, terlebih yang berkaitan langsung dengan kebutuhan masyarakat banyak. Apalagi, dalam hal menjawab aneka kepentingan rakyat dalam rentang waktu yang relatif sempit, jelang berakhirnya tahun anggaran berjalan.

Sikap penolakan itu, biar bagaimanapun juga merupakan bentuk kehati-hatian legislatif pada fungsi budgeting nya dalam mempersiapkan sekaligus mengawal anggaran yang sejatinya diperuntukkan bagi masyarakat luas. Idealnya begitulah seharusnya DPRD bekerja. Di benaknya hanya ada satu kata: kepentingan rakyat.

Namun, ada yang tekesan kontradiktif. Misalnya, rakyat dapat pula meragukan, apakah tindakan kehati-hatian dan juga pengawasan yang baik terhadap penggunaan anggaran juga diterapkan hal lain di luar itu. 

Contohnya, pada alokasi anggaran yang diterakan dalam lembaran Peraturan Daeran Kabupaten Batubara No.3 Tahun 2020, yangmengatur penambahan penyertaan modal kepada PT Pembangunan Batra Berjaya (PBB) untuk pengembangan usaha dan penguatan struktur permodalan.

Esensinya, perda tersebut menjadi landasan felontoran dana yang terbilang spektakuler dalam catatan pemerintahan di Batubara. Yang mana dala perda itu dicantumkan pembiayaan beberapa item, berupa: pembangunan lampu penerangan jalan umum tenaga surya yang dilaksanakan Tahun Anggaran 2020 (Rp.12 Miliar)

Lainnya adalah, Rp.20 Miliar dimulai pada Tahun Anggaran 2021 untuk pembangunan

food station, industri pengolahan ikan dan kapal fiber glass. Juga, Rp.8 Miliar untuk pembangunan perhotelan.dimulai pada Tahun Anggaran 2022. Total Rp.40 Miliar. Belum lagi jika diakumulasikan dengan Rp.10 Miliar yang telah dicurahkan dari kocek Pemkab saat masa-masa awal BUMD eksis. Wow! 

Patut dipertanyakan, apakah DPRD cukup awas mencermati upaya penggelontoran dana berskala raksasa itu. Termasuk, realisasi-realisasinya? Atau jangan-jangan oknum-oknum di legislatif justeru mendapatkan bagian tersendiri dari hasil peraturan daerah yang turut ia lahirkan. Tapi kita berhadap tidak. 

Tapi, kalau mengenang sekilas mengenai penolakan legislatif terhadap penyertaan modal BUMD pada KUPA-PPAS 2025 di atas, agak juga mengherankan, tidakkah TAPD eksekutif mengetahui mengenai pelarangan dalam Permendagri yang disampaikan FPDI Perjuangan? Kalau tahu, mengapa tetap diusulkan juga?****k.tanjong 

Lebih baru Lebih lama