sampai ke Rembau Srimenanti,
sebutan. Prof. Hamka
Entahkan itu Dharmasraya, Malayapura, atau Pagaruyung yang jadi topik, maka kemungkinan besar, semua telunjuk akan mengarah pada suatu nama nan fenomenal: Adityawarman. Sosok nan perkasa itu dalam catatan historikal adalah Raja yang bertampuk 1347 hingga 1374 Masehi. Ya. Tak bisa dipungkiri, sosok itu terpahat lekat pada sitambo-sitambo lama yang bahkan agaknya tersampaikan temurun secara lisan, menerakan kekayaan sejarah bangsa-bangsa di Nusantara. Tepatnya, Sumatera dalam hal ini.
Tak cukup sampai di situ. Prasasti-prasasti tertentu yang ditemukan dan masih terlestarikan, juga turut mengisahkannya. Seperti di Surawasa yang di lidah Minang menjadi Suruaso. Sekalipun demikian, Masih banyak hal mengenai asal-usul, sepak terjang dan pengaruh keberadaannya, yang masih bak berselimut awan.
Faktanya, beragam penelitian, analisis, selidik, penulisan dalam bentuk ilmiah dan populer, yang dilakukan oleh para ahli, peneliti, penulis, peminat dan pencinta sejarah, hingga kini tetap ada. Walaupun awam diketahui, bahwa bertatih di koridor sejarah adalah layaknya melintasi laluan yang kerap temaram. Malah bisa jadi meruap aroma yang tidak menyenangkan satu-dua kalangan.
Sehingga kekeliruan, koreksi, perbedaan pendapat dan perdebatan adalah lumrah pada sesuatu yang ingin terus diupayakan titik terang mengenai eksistensi, situasi dan kondisi tertentu. Semuanya, guna menjawab rasa ingin tahu mengenai apa yang sebenarnya terjadi pada masa lalu yang hakekatnya membentuk peradaban saat ini, bahkan masa mendatang.
![]() |
Datuk H.OK. Khairul Amri didampingi Mufti Kerajaan Padang, bersalaman dengan tokoh Minang |
Namun, berlepas dari ruang nan 'kelabu asap' semacam itu, yang jelas, seraya memenuhi undangan silaturrahmi Limbago Adat Se-Alam Minangkabau, di kawasan Batusangkar, dari Batubara, rombongan yang disupport sekaligus diikutsertai Datuk H.Khairul Amri zuriyat Datuk Setiawangsa yang memimpin Kedatukan Pagurawan, sempat berkunjung ke situs-situs yang identik dengan kisah keberadaan Adityawarman.
Lokasinya berada satu kompleks yang disebut sebagai Kuburajo. Tak pelak, titik penting yang tepat berada pada tanah bertebing tersebut, ada menganggapnya sebagai 'Kubur raja' atau malah 'Kubu raja'.
Munculnya anggapan-anggapan itu paling tidak masih dapat dipahami dengan beberapa alasan. Sebab secara faktual, sememangnya di sana terdapat makam-makam tua berundak bebatuan koral. Penunjuk jalan menyebut, salah satu di antaranya merupakan makam Datuk Bandaro Kuniang serta sejumlah makam perempuan bangsawan.
Ada yang unik pada beberapa fisik makam orang besar bergelar Datuk Bandaro Kuniang itu. Khususnya pada bentuk dua nisannya. Terlihat mirip bentuk lengkungan pucuk pakis muda. Atau malah seperti hulu tangkai sebilah keris salin hadap-menghadap, tertancap di tanah.
![]() |
Makam Penyandang Gelar Datuk Bandaro Kuniang |
Pada hamparan luas yang bertabur makam iitu, rasa-rasanya dapat pula dimengerti jika ada yang menduga kuat bahwa Adityawarman nan masyhur itu, jasadnya juga dikebumikan di areal yang sama, terlebih pada situs di mana sebentuk prasasti batu persegi panjang tumpul berada tepat di atasnya.
Ketika kita berhadapan dengan prasasti yang kerap disebut 'Kuburajo I' itu, pada bilah yang rata, terpahat aksara palawa menyusun kata membentuk kalimat-teratur berbahasa sanskrit, bukan Melayu, bahkan Minangkabau. Di sana dipaparkan perihal legitimasi kepemimpinan Adityawarman yang didapati dari garis keturunan, wilayah kekuasaan nan kaya sumberdaya alam. karakter personal, juga agama yang diimani.
Jika beralih ke Bahasa Melayu mutakhir, maka dapatlah agaknya dalam wujud begini:
Salam. Dengan rasa ikhlas nan dalam. Putra Adwayawarman, penguasa Negeri Swarna Bhumi. Dia yang telah berjasa. Yang teguh dan penuh rasa kasih. Sabar, menenangkan. Dermawan layaknya Kalpataru yang memenuhi keinginan. Adityawarman raja dari keluarga pemuja Dewa Indra. Penjelmaan Sri Lokeswara (gelar Airlangga-red), Dewa yang penuh cinta kasih.
![]() |
Prasasti di Kuburajo II |
Beranjak dari sana, tak jauh tampak tiga buah batu besar berjajar menyamping. Sepintas secara keseluruhan jadi mirip tempat untuk duduk. karena adanya batu mendatar di hadapan batu besar yang terkesan jadi sandaran berhiaskan pahatan bermotif flora. Seperti bunga matahari. Batu sebelah kiri juga terlihat berbentuk matahari dan ada bentuk segi enam di sana. Mungkin saja, sesungguhnya itu merupakan tempat meletakkan sesembahan.memuja Matahari.
Sayangnya, tak cukup banyak waktu untuk lebih mendalami segala seusatu yang berkaitan erat dengan kawasan Kuburajo itu. Padahal rasa-rasanya banyak sesuatu yang menarik, tidak hanya pada yang terlihat, tapi juga pada sesuatu yang tak dapat teraba jangat, yang berresonansi dengan membran hati hingga mendesir halus sanubari. Falsafah, juga pengalaman masa lalu bagian di antaranya.
![]() |
Rumah Datuk Bandaro Kuniang, Tanah Datar |
Mentari, mulai membentuk sudut beberapa derajat ke Barat. Jalanan tak begitu ramai. Bayu semilir khas perbukitan menyejukkan. Semua itu, lengkap rasanya ketika bangunan-bagunan tua bergaya rumah adat masih terpancang tak jauh dari lokasi prasasti. Ada yang usianya diperkirakan dibangun pangkal Abad ke-19.
Seperti yang sedang di hadapan mata. Sebentuk rumah yang disebut sebagai Kediaman Datuk Bandaro Kuniang. Sekeliling lahannya berpagar bebatuan alam. Tampilannya layaknya foto ilustrasi Rumah Gadang pada era kartu pos jadi tren semasanya. Dengan lumbung-lumbung padi besar yang beberapa meter tepat berada di hadapan pintu masuk utama.
Di halaman nan luas, juga tampak lesung batu, juga bekas alat transportasi dari kayu sejenis sado. Roda--rodanya berdiam di bawah sebentuk garasi lawas pada halaman samping rumah megah tersebut. Dulu mungkin ia menjadi sesuatu benda yang mewah, melintas di jalanan bersanding kuda atau kerbau. Mengamatinya, roda kayu yang telah lelah berputar itu, seakan bergulir menghantarkan ingatan siapapun menuju masa lalu.
Pagaruyung, telah menjadi negeri kaum muslimin yang turut diwarnai peranan Tuan Syekh Burhanuddin Ulakan, pada masa sebelumnya. Lalu Agama Islam pun jadi salah satu fundamen utama dalam membentuk pola hidup masyarakat dalam berbagai aspek sosio-ekonomi, termasuk pertahanan negeri yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia itu.
Barulah 22 Maret 1822, legiun-legiun militer Hindia Timur Belanda, dapat menaklukkan Pagaruyung. Langkah berikutnya, Kolonel Raaf mempersilakan Sultan Muning syah yang berada di Kuantan, kembali menduduki singgasana. Namun ia menolak kembali ke tampuk. Dengan alasan usia atau enggan di bawah kaki Belanda. Atau malah kedua-duanya. Itu bertahan hingga Yang Mulia mangkat 1 Agustus 1825. Belumlah diketahui awam, adakah wasiat atau pesan khusus sebagai titah terakhirnya.
![]() |
Datuk H.OK.Khairul Amri bersama tokoh Melayu-Minangkabau |
Dugaan Sultan semasa hidup terbukti. Belanda mengangkat Tuanku Alam Bagagarsyah sebagai pimpinan masyarakat di Minangkabau. Namun bukan sebagai Sultan, bukan Raja Alam, Bukan Yang Dipertuan. Melainkan sekadar 'raja' berpangkat regent. Regent Tanah Datar. Itulah tingkah kolomial. Menghempas marwah dan martabat penghuni negeri tempat ia bercengkeram kuku.
Cukupkah sampai di situ? Sayangnya tidak. Kisah berikutnya adalah rentetan cerita menyedihkan. Semuanya kerap meremukkan hati jika dituturkan. Siapakah yang tidak pilu, jika mengenang apa yang berlaku di Batusangkar pada 2 Mei 1833. Sultan ditangkap Letnan Kolonel Elout, Residen Sipil dan Militer Belanda. Kejadian itu, pada pertemuan ramah-tamah di rumah Residen nan licik itu sendiri.
Keadaan Tuanku sangat memprihatinkan seperti dituliskan Hamka dalam buku 'Perbendaharaan Lama' bahwa Tuanku Sultan Alam Bagagarsyah dipasung kedua kakinya dengan kayu sempedak.
![]() |
Masjid Limo Kaum, Tanah Datar |
Lalu, seorang kapten Belanda memimpin pembuangannya ke Batavia. Tuanku, sekira 1849 kemudian mangkat dan dikebumikan di Kawasan Mangga Dua. Hingga 12 Februari 1975 Pemerintah RI dalam upacara resmi, memindahkannya ke Taman Makam Pahlawan Kalibata.
Tentulah, masih banyak rangkaian kisah Pagaruyung, di mana pemimpinnya sempat menjadi Yang Dipertuan pada wilayah nan luas, yang di antaranya diterakan pada awal tulisan ini. Banyak yang membanggakan, walau tak sedikit jua yang memilukan hati.Satu-dua tanda tanya perlu pula untuk berjawab. Mungkin suatu hari nanti.****k.tanjong