Siak Sri Indrapura; Berkunjung Ke Masa Lalu


Johor, 3 September 1699. Kabar mengejutkan itu menggema. Sultan Mahmudsyah II menghembuskan nafas terakhir. Tuanku mangkat di atas julang. Yang Mulia ditujah dengan sebilah keris. Terkabar, pelakunya, Laksamana Megat Sri Rama. Sultan Wafat saat dalam perjalanan menuju Sholat Jumat. Disebut, kejadian itu terjadi kala hujan panas menggerimis.

Jika pada penghujung abad ke-17 itu, surat kabar sudah menjadi benda yang lazim, tentulah berita mengenai peristiwa di atas menjadi sajian utama, dicetak tebal di halaman depan. Ada yang kemudian langsung percaya, walau tak sedikit yang kemudian penuh selidik. Misalnya, benarkah Megat Sri Rama terlibat? Benarkah ia turut mangkat, atau justru 'dimatikan' oleh pembuat sejarah itu sendiri? Banyak tanda tanya lainnya.  

Anehnya, kabar mengenai kemangkatan salah seorang wangsa terakhir Melayu Malaka-Johor itu, berlaku tak biasa. Ia tidak cuma bergaung dalam hitungan hari, bulan atau pun tahun.Tapi justru melintasi hingga Abad ke-21, saat ini. 

Kisah pilu itu, dituturkan waktu demi waktu, generasi demi genarasi. Bagi yang berusaha memahami, pada kejadian itu banyak tanda tanya ditemui. Ada kejanggalan yang beraroma persekongkolan, karena pasca peristiwa berlalu, beberapa pihak menjadi begitu diuntungkan. Dan setelah itu, wangsa Melayu penerus Parameswara yang mengharumkan Malaka, lenyap dari pentas kekuasaan ujung Semenanjung.

Istana Asserayah El-Hasyimiah

Tapi sudahlah. Setidaknya kami telah di sini. Di hadap kemegahan Istana Asserayah El-Hasyimiah, di wilayah nan bergelimang sri: Siak Sri Indrapura, yang menjadi ibukota mutakhir dari rangkaian perpindahan sebelumnya, pernah di Buantan hingga Senapelan. 

Segenap itu, wujud berkat 'Raja Kecik' Sultan Abdul Jalil Rahmadsyah, putra Sultan Mahmudsyah II. Ia membinakan negeri di Sumatera setelah gagal merebut kembali tahta ayahandanya di ujung Semenanjung Malaya. Dalam proses itu, tersingkap pula peranan laskar-laskar dari Batubara.

Balairung Sri, bangunan multifungsi di Kompleks Istana Siak Sri Indrapura



Sekira pukul sepuluh pagi. orang-orang mulai ramai di pintu masuk istana. Masuk tanpa alas kaki setelah sebelumnya membeli tiket pada loket di luar pagar istana. Suasana relatif tenang, temperatur udara cukup nyaman sambil melangkah menjejak pada lantai istana yang sejuk. 

Yang langsung tampak adalah pajangan sepuluh boneka mengenakan pakaian khas Melayu, empat diantaranya duduk dikursi saling berhadapan. Adapula yang bersila dilantai, Sedangkan yang lain berdiri dan satu duduk di sofa tepat berada di tengah majelis. Semua itu, mengilustrasikan posisi para petinggi atau malah tamu yang sedang menghadap empunya kekuasaan.

Sebelumya pada sebelah kanan, terpajang foto-foto Sultan. Sendiri, juga saat Sultan Syarif Kasim II berpose bersama permaisuri nan jelita. Koleksi-koleksi foto tempo doeloe cukup mengisi banyak tempat, baik di lantai satu hingga lantai dua istana yang tercatat dibangun pada 1889-1893 oleh Assayyidis Syarif Hasyim Abdul Jalil Saifuddin itu. 

Kompleks Makam Sultan Syarif Kasim II dan Tengku Syarifah Latifah



Walaupun tak disebut museum, tapi tatanan koleksi yang ada tak pelak telah membuat istana berada dalam posisi semacam itu. Almari-almari kaca menjadi tempat aneka perabotan makan, bilah-bilah senjata tradisional dan perangkat rumah tangga istana lainnya. Meriam-meriam kuno aneka ukuran juga terpajang di sana. Termasuk sepucuk meriam yang telah terpotong dua. Kabarnya, sempat dicuri dan perahu pembawanya tenggelam di laut.

Yadng juga kerap menarik perhatian pengunjung, terlebih yang kali pertama hadir, adalah alat pemutar cakram musik klasik berukuran besar, juga gramophone dengan fungsi yang sama, namun lebih canggih dan berukuran lebih kecil. Begitu pula dengan set meja makan mewah berbentuk persegi panjang, serta kursi-kursi yang terkesan antik.

Juga yang satu ini: patung kepala Ratu Wilhelmina. Sejauh ini, banyak yang mengira-ngira, mengapa benda unik semacam itu ada di Istana Siak. Hingga ada yang menganggap pernah adanya hubungan tersendiri antara keduanya. Hubungan itu tentulah ada, namun jika di dalami lebih jauh, relasi sesama dua pemimpin itu, terlalu sempit jika sekadar soal asmara.

Datuk. H.OK.Khairul Amri di depan Makam Datuk Pesisir, Diseberang Balairung Sri



Faktanya, Kesultanan Siak telah menjadi bak mesin raksasa pencetak emas bagi Belanda. Tengoklah, era pembangunan bangunan itu, adalah rentang masa di mana akta-akta konsesi pemanfaatan lahan untuk perkebunan ditandatangani. Nyaris merata di sepanjang jalur Timur Sumatera. Terlebih pada wilayah kesultanan, kerajaan dan kedatukan yang berada dalam pengaruh Siak. Termasuk Batubara. Wajarlah jika kemudian Wilhemina 'jatuh cinta'. Cukup.

Sebenarnya, daya tarik Istana berwarna krem muda itu, tak hanya pada dirinya sendiri, nan molek karena perpaduan serasi antara seni arsitektur bergaya, Melayu-Arab-Eropa. Tapi juga karena keberadaan bangunan-bangunan dan fasilitas penting lain yang terletak di sekitarnya. Di tepi Sungai Siak nan permai.

Bersebelahan langsung dengan gudang mesiu kuno, terdapat Kompleks pemakaman Koto Tinggi. Pada kompleks yang berada pada bagian kiri istana menjadi tempat persemayaman abadi bererapa sultan  yang berjaya semasanya. 

Foto Sultan Syarif Kasim II Bersama Tengku Agung



Yaitu Sultan Asyaidis Syarif Ibrohim Abdul Jalil Khaliluddin (sultan ke-7) Sultan Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin (sultan ke-9) Sultan Syarif Kasim I (sultan ke-10) dan Sultan Assyaidis Syarif Hasim Abduljalil Syaifuddin (sultan ke-11) Makam lainnya, diketahui merupakan keluarga maupun kerabat dekat kesultanan. Beberapa nisan, tidak bermaterial batu seperti yang lazim terlihat, namun dari jenis kayu yang tak lapuk dalam waktu lama. Mungkin Trembesi.

Bangunan bersejarah penting lainnya, justru berada pada sebelah kanan istana. Di dalam pagar, paling masih berdiri sebentuk bangunan lama bercat putih. Ada yang bilang itu merupakan kediaman resmi sultan bersama keluarga. Di luar pagar, tak jauh dari alun-alun terdapat Masjid Raya Syahabuddin. Masjid tersebut merupakan buah kerja Sultan Syarif Kasim II pada 1926. Rumah ibadah itu, merupakan pembaharuan dari masjid kesultanan era sebelumnya yang berdirI 1882.

Masjid Syahabuddin, masjid raya tua di Siak Sri Indrapura



Selanjutnya, menyisir trotoar di pinggiran sungai, akan ditemukan bangunan yang diberi nama Balairung Sri. Itu menjadi salah satu fasilitas penting di era pemerintahan sultan. Pada dasarnya, ia meruoakan tempat bermusyawarah para datuk yang disebut empat suku. Manfaat lainnya, menjadi tempat penobatan, persidangan serta tempat menerima tamu-tamu penting dan tokoh-tokoh tertentu.

Dengan fungsionalitas yang beragam itu, wajar saja balairung itu dilengkapi alat transportasi berupa kereta kebesaran yang terkesan mewah di zamannya. Terbuat dari kayu yang sampai melintasi millenium ini pun masih tampak eksklusif. 

Mengingat adanya peranan datuk empat suku, yang di dalamnya termasuk Datuk Kampar (Maharaja Sri Wangsa), Limapuluh (Sri Bijuangsa)  Pesisir (Sri Dewa Raja) dan Tanah Datar (Sri Paduka Raja) maka tim dari Batubara yang disupport Datuk. H.OK.Khairul Amri yang merupakan zuriyat Datuk Setiawangsa dari Kedatukan Pagurawan, berupaya mengunjungi tempat kediaman para datuk yang punya tempat bergengsi dalam pemerintahan Kesultanan Siak.

Datuk H.OK.Khairul Amri di depan Kompleks Makam Datuk Kampar



Lokasinya, berada diseberang sungai. Nyaris berhadapan langsung dengan bahagian depan halaman Balairung Sri. Sayangnya, cuma kediaman Datuk Pesisir sahaja yang masih berdiri tegak, dengan kondisi yang tampak masih utuh. Makamnya yang terawat, terletak di halaman belakang, berisisian jalan akses.

Sekira puluhan meter dari sana yang juga masih terjaga dengan baik, adalah komplek pemakaman Datuk Kampar. Pepohonan rindang berada di sekelilingnya. Hanya saja, tak tampak sebentuk rumah yang jadi kediaman beliau semasa hayat. Sedangkan Datuk Limapulh dan Tanah Datar, ada yang menyebut makamnya berada di Senapelan, Pekanbaru. Memamg, dalam kurun waktu tertentu ibukota Kesultanan Siak pernah berada di sana. 

Namun sejujurnya, tak lengkap jika ke Siak Sri Indrapura melewatkan ziarah ke Makam Sultan Syarif Kasim II yang bersisian dengan Masjid Syahabuddin. Konstruksi bangunan terbuat dari beton dengan tampilan yang mirip dengan Istana tenmpat dulu ia bertahta. 

Disampingnya adalah makam permaisuri pertama bernama Tengku Syarifah Latifah yang bergelar Tengku Agung. Pada sebelah kiri, adalah makam Pangeran Tengku Embong Sayed Muhammad (mertua) dan Tengku Temenggung (paman) Namun permaisuri ke-dua Tengku Syarifah Fadhlun (Tengku Mahratu) tidak berada satu lokasi. Sepenggal informasi menyebut, beliau bermakam di Jakarta. 

Sejauh iini diketahui, kedua permaisuri itu merupakan keluarga sekandung. Tengku Mehratu menjadi permaisuri setelah Tengku Agung meninggal pada Tahun 1929. Mereka juga, dari pihak ibu disebut-sebut punya hubungan keluarga yang sangat dekat dengan Tengku Musa yang sempat memimpin Kesultanan Langkat.****k.tanjong

Lebih baru Lebih lama