Mercusuar Dari Langkat

 


Pada negeri di mana Kedatukan Tanjung berada, suasana haru, tak pelak jua menyelinap di hati. Betapa tidak, masyarakat dan para tokoh Melayu dari kawasan-kawasan tempat di mana kesultanan, kerajaan, kejuruan dan kedatukan Melayu berada, akrab berkumpul. Segenap itu, saling bertemu, bertutur sapa, menyambung silaturrahim. Tiada tujuan apapun, kecuali suatu hal: mewujudkan persaudaraan kian erat.

Itu terjadi 15 Juni 2025, di antara sesekali sepoi angin sekitaran Selat Malaka nan permai berhembus, dan suhu hangat yang merayap di jangat, khas temperatur udara pesisir Pantai Timur Sumatera. 

Di tengah kebersahajaan acara, suatu hal yang kemudian membuatnya istimewa. Beragam pokok-pokok pikiran dan gagasan yang dituangkan sosok-sosok luar biasa yang berkesempatan memberikan kata sambutan. Secara umum, semuanya bermuara pada suatu hasrat: bahwa Melayu harus tetap menggenggam harkat dan martabat. Bermarwah dan tinggi peradaban. Juga untuk bersama meningkatkan kesejahteraan hidup saat ini, maupun masa hadapan.

Namun dari semua yang tersampaikan, sesuatu kemudian memantik perhatian. Sultan Langkat Tuanku Azwar Abdul Jalil Rahmadshah memberikan amaran: bahwa segenap Melayu mestilah berpegangan teguh pada adat dan resam sekalian. Kedua unsur penting itu, haruslah dijadikan bak mercusuar bagi Melayu dalam menjalani, menata, dan membangun kehidupan dan penghidupan. 

Senyatanya, titah semacam itu, tentulah mengandung pesan filosofis yang dalam. Mercusuar hakekatnya, menjadi patokan sekaligus penentu arah, sehingga bahtera kehidupan dan arah berada pada jalur yang semestinya. Sehingga tidak terbentur karang-karang dinamika pergeseran zaman, yang membuat jati diri tenggelam di lautan peradaban. Tak bangkit lagi.

Boleh jadi, satu-dua individu baik awam dan cendikia, punya sudut pandang beragam mengenai itu. Namun, biar bagaimanapun jua, ada kesan kekhawatiran yang jelas dari sultan, yang disampaikan Putra Mahkota Langkat, Tengku Ariefanda Aziz, mengenai menguatnya ancaman krisis jati diri di kalangan Melayu. 

Ya, jikalau demikian halnya, maka, apa yang diutarakan Sultan Langkat sangat penting untuk jadi catatan dan pemikiran bagi semua pihak. Terlebih bagi elemen-elemen yang peduli, juga yang saat ini memegang jabatan strategis yang dapat mengatasi kesan kekhawatiran dari Tuanku Sultan Azwar itu. Karena, manakala menjadi abai, maka lekas atau perlahan, Melayu agaknya hanya akan jadi tinggal nama. apalah artinya generasi tanpa adat dan budaya yang tidak dipraktikkan keseharian dalam kancah pergaulan hidup.

Sama sekali bukanlah mengajarkan limau berduri. Namun tampaknya, upaya-upaya pemahaman mengenai historikal dan kultural, termasuk peranan tokoh-tokoh Melayu penting, selayaknya menjadi hal yang tersebar luas bahkan pada kalangan belia. Edukasi semacam itu, selama beberapa dekade terakhir, dapat dibilang langka dalam pendidikan formal. Apalagi pada tingkatan dasar dan menegah. Begitupun, jalur-jalur alternatif tetap punya pintu nan lebar untuk dibuka.

Rasa-rasanya, masih belum lama berselang, ketika kekuasaan dari para pemimpin Melayu bak burung terlepas dari tangan. Jejak dan bukti kesejarahannya pun masih tampak hari ini. Masih relatif baru, sekira pertengahan abad 20. Seusai perang dunia ke-dua. Hilangnya kekuasaan berarti alpa pula dalam membuat kebijakan pemerintahan. Belum lagi, kekayaan Melayu yang sebagian besar cuma bisa untuk dikenang. 

Mungkin,  cuma peluang daya pengaruh sahaja yang tersisa. Untuk dapat bangkit, generasi Melayu saat ini, tidak bisa tidak, sedapat dan semaksimal mungkin perlu punya pengaruh dalam arah kebijakan pemerintahan tempatnya dapat berpayung. Bukti konkretnya, berwujud aneka program nyata yang didukung alokasi anggaran pembangunan optimal mengenai adat dan kebudayaan. Termasuk bagi perlindungan situs-situs bersejarah.

Jika tidak, biduk melayu akan berlalu-lalang tanpa mercusuar.Berbahaya. Itulah mengapa titah Sultan Langkat pada Silaturrahim Melayu di Batubara, menjadi sangat penting. Terimakasih, Tabik sultanku.****k.tanjong

Lebih baru Lebih lama