H.Muhammad Rafik: Menyoal 'Isu Besar' Seputar Pembangunan Perkantoran Pemkab Batubara


Dalam iklim demokrasi di mana rakyat adalah pemegang kekuasaan tertinggi, menjadi penting bagi masyarakat dalam aneka strata untuk melakukan upaya-upaya pengawasan terhadap jalannya pemerintahan. Eksekutif, dengan segenap kewenangan yang dianugerahi untuk mensejahterakan masyarakat tempat pemerintahan itu hidup semestinya tetap menjadi fokus perhatian publik.

Bentuk-bentuk pengawasan, yang di dalamnya boleh jadi berupa kritik nan sehat dari rakyat dalam konsep trias politica, menjadi sesuatu yang tak boleh tidak dilakukan. Terlebih jika menyimak pendapat Lord Acton: kekuasaan cenderung untuk korup. Semakin absolut kekuasaan, maka kian absolut pula korupsi yang kemungkinan terjadi.

Dengan pemikiran semacam itu, tentulah relevan jika Muhammad Rafik; seorang politisi senior di Batubara yang sempat lebih dari satu dekade menjadi Ketua DPC Gerindra setempat, untuk mencermati dinamika pemerintahan di daerah itu.

Itulah mengapa, dalam suatu sesi wawancara eksklusif dengan Kilas8 baru-baru ini, yang terangkum dalam petikan wawancara menyertai tulisan ini, ia menyinggung perihal yang ia nilai sebagai 'isu besar'. Itu, ada hubungannya dengan pembangunan perkantoran pemerintah di kabupaten yang pada titik tertentu pesisir pantainya menjadi kawasan strategis nasional.

Antara lain, pembangunan salah suatu kantor di Airputih yang menjadi polemik berkenaan dengan lahan tempat berdirinya fasilitas tersebut. Selain itu, ia juga menyinggung realisasi kantor bupati di Limapuluh, pada lokasi yang beberapa lama menjadi kawasan HGU sebentuk perusahaan perkebunan swasta.

Lalu, wajar pula dipertanyakan, adakah uang rakyat yang digunakan untuk pengadaan lahan-lahan itu. Dan, jika pun ada, seberapa besar? Publik berhak tahu.  Karena transparansi adalah harga yang tak bisa ditawar pada negara yang didirikan oleh rakyat dan dibina untuk kepentingan rakyat.****k.tanjong



Lebih baru Lebih lama