Terimakasih Sultan Langkat



"Kami mau menengok sultan" Kalimat itu meluncur polos sebagai ucapan tulus dari warga perkampungan nelayan di sekitar kawasan Kualatanjung. Begitu jendela mobil sigap dibuka Tengku Ariefanda Aziz, sontak mereka yang berkumpul mengulurkan tangan untuk bersalaman, bahkan dengan kegembiraan yang meluap. Sebagian yang berdekatan, mencium takzim tangan Sultan Langkat, Tengku Azwar Abdul Djalil Rahmatshah. Ahad, 27 Juli 2025 jadi hari mengharukan. Memang.

Momentum spontan yang dapat membuat mata berkaca-kaca itu, dapat melukiskan banyak hal. Pada satu sisi, ekspresi masyarakat tempatan, yang pada masa lalu berada dalam wilayah Kedatukan Tanjung itu, dapat dilihat sebagai wujud 'harapan' kultural yang tertitip secara temurun. 

Karena bagi anak Melayu, tak dapat dipungkiri, hingga kini pun masih terwariskan rasa nan kuat bahwa sultan layaknya 'payung panji negeri'. Kehadirannya juga berarti kemuliaan pada tempat yang disinggahi.

Meninjau Batubara

Ya. Sultan memang terjadwal untuk meninjau beberapa titik penting di wilayah yang berhadapan langsung dengan Selat Malaka itu. Walaupun terkesan sederhana, namun sesungguhnya kehadiran Sultan Azwar Abdul Djalil Rahmatshah mengandung makna penting tersendiri.

Alasannya, paling tidak dalam kurun waktu lebih dari delapan dekade terakhir, belum pernah sekalipun tercatat adanya kunjungan yang bersifat 'peninjauan' kesultanan Melayu ke kawasan Kedatukan Tanjung, misalnya. 

Terlebih pasca padamnya Kesultanan Siak saat berada di tangan Sultan Syarif Kasim II. Kondisi itu, diperparah lagi dengan peristiwa yang dinamai Revolusi Sosial nan berdarah. yang menghantam langsung sendi struktural kekuasaan pemerintahan di negeri-negeri Melayu.




Tengku Ariefanda Aziz bersama warga di sekitar Kualatanjung








Selain itu, kunjungan Sultan Langkat, dapat menjadi sandaran moral yang kuat bagi banyak kalangan Melayu, termasuk masyarakat awam guna memelihara aspek adat-budaya tradisi. Malah bisa jadi, kunjungan tersebut dapat diartikan sebegai bentuk kepedulian terhadap nasib dan masa depan anak negeri. 

Kepedulian itu tentu menjadi sesuatu yang sangat bernilai. Karena boleh jadi, itu akan menjadi bak pengobat semacam 'frustasi' yang berkembang sejalan dengan melekatnya 'label kantong kemiskinan nasional' pada masyarakat pesisir. Belum lagi dengan parahnya disparitas sosial akibat era pembangunan yang kurang memberikan ruang bagi warga tempatan untuk menikmati kesejahteraan pada level yang tinggi.

Apakah pemikiran seperti itu mengada-ada? Kita dapat menjadikan data statistika resmi sebagai alternatif penilaian. Yang jelas secara faktual, anak Melayu yang hidup di sekitar titik-titik penting pertumbuhan industri, justru masih berada dalam kusut-masai penataan infrastuktur yang sejalan dengan relatif buruknya keadaan  sosio-ekonomi. Kuala Indah dan Kuala Sipare, agaknya dapat dijadikan salah satu contoh. Lainnya? Banyak.

Tindakan peninjauan langsung dari pihak Kesultanan Langkat memang patut untuk dipuji. Karena hal itu, pada gilirannya akan dapat menciptakan perjuangan kolektif membangkitkan marwah, harkat dan martabat Melayu itu sendiri. Boleh jadi berupa kebersamaan solid antar kesultanan mengembalikan hak-hak Melayu yang lebih satu abad lamanya terendap dalam dokumen bernama 'Acta Van Consessie'. Siapa tahu? Terimakasih Sultan Langkat.****k.tanjong


Lebih baru Lebih lama