Raja lalim raja disanggah...
Sitambo Melayu lama menerakan jelas kata-kata Hang Jebat itu sejak zaman kejayaan Melaka. Lalu, di Johor, jelang akhir abad XVII, kata-kata itu pulalah agaknya yang mengiang ulang dalam benak Laksamana Megat Sri Rama. Berdasar kisah nan terpapar, tindakannya, kemudian mengakhiri hidup sekaligus era pemerintahan Sultan Mahmudsyah II di negeri pada ujung semenanjung itu.
Setelahnya, riwayat penguasa Johor yang bertemali Parameswara tersebut lekat dengan cerita nan melegenda: Sultan Mahmud mangkat di julang. Kisahnya, masih menjadi buah bibir berulam zaman. Bahkan hingga saat ini, di kalangan anak Melayu Nuswantara terlebih lagi yang berada dalam kawasan pesisir Selat Melaka.
Dalam lembaran hikayat berlatar sejarah, terpapar bahwa perseteruan antara Sultan Mahmudsyah II dengan Laksamana Megat Sri Rama yang mengakibatkan kedua orang besar Melayu itu sama-sama bersimbah darah di Kota Tinggi, dipicu rasa ketidakadilan.
Pasalnya, istri tercinta Megat bernama Hanum yang tengah mengidam karena mengandung dihukum mati. Alasannya, terkabar akibat mengenyam seulas nangka yang akan dipersembahkan kepada sultan.
Itu terjadi manakala Megat muda nan sohor itu tengah melaksanakan tugas negara membanteras para lanun yang meresahkan di kawasan perairan. Beberapa masa pasca eksekusi, sultan yang juga masih belia itu pun tersadar dari kekeliruan besar yang dibuatnya. Ia berusaha menebus kesalahan dengan memberikan anugerah berupa kawasan tertentu yang masih berada dalam naungan wilayah pengaruh kesultanan.
Tentu saja itu baru dilakukan baginda sepulang laksamana dari tugas, dan semasa Megat Sri Rama belum mengetahui duduk soal mengenai pasal meninggalnya istri yang tengah mengandung anak keturunannya. Masalah eksekusi itu tentu saja disimpan rapat dan menjadi rahasia internal kesultanan karena dapat menghancurkan kemapanan politik dalam negeri.
Pemahaman
Ragam kisah masa lalu yang tak sedikit diantaranya bernilai sejarah, adalah lazim jika belakangan tertutur bertemurun dalam aneka versi, sekalipun pada objek yang sama. Karena itu, pendekatan nalar kerap kali dibutuhkan sehingga riwayat sosok, tempat, waktu dan peristiwa pada sebentuk kisah dapat lebih diterima secara lebih rasional.
Mengenai tuturan-tuturan dalam yang mengandungi aspek historikal itu dapat ditemukan pada hikayat Hang Tuah dan kelompoknya, Begitupula dengan Kisah Cik Siti Aminah nan legendaris dari Kampung Mahsyur yang bahkan hingga memiliki tiga versi.
Demikian halnya dengan Kisah Sultan Mahmud mangkat di julang. Agar aspek kesejarahannya menjadi lebih menonjol, maka, perlu ditilik jua dari sisi silsilah yang menjadi satu modal utama dalam konstruksi sejarah, SultanMahmudsyah II dapat ditelusuri hingga beberapa generasi di atasnya.
Sosok Laksamana Megat Sri Rama pun turut menjadi bagian yang penting ditelusuri dalam beberapa aspek. Misalnya, yang menyangkut asal-muasal, garis keturunan, peranan strategisnya di Johor, alasan pengangatannya sebagai laksamana, anugerah apa saja yang pernah diterimanya dari Sultan baik dalam bentuk gelar kehormatan, termasuk hartanah.
Dan benarkah dia maut dalam perseteruan dengan Sultan. Lalu dimanakah letak makamnya: Di Kota Tinggi, Johorkah? Bintan? Atau malah dengan kesaktiannya ia justru selamat dan kemudian berada di kawasan lain di Pesisir Timur Sumatera. Boleh jadi di Perupuk misalnya.
Setelah itu beberapa hal lain agaknya dapat terkuak. Karena mungkin saja perseteruan diantara Sultan dan Laksamana itu merupakan hasil campur tangan plus adu-domba pihak asing, seperti yang sebelumnya membuahkan hasil di Kesultanan Malaka 1511.
Membuka sitambo lama mengenai kisah Sultan Mahmud mangkat di julang jelas akan bahyak menuai makna. Terlebih jika pencermatan malah mungkin rekonstruksi dilakukan dengan rasa hayat sejarah yang baik.
Dengan begitu, boleh jadi akan ada pesan-pesan yang lebih tersampaikan dari masa lalu untuk generasi kini menghadapi tantangan masa mendatang. Paling tidak,itu akan dapat membantu mengatasi krisis jati diri anak Melayu yang jelas merupakan ancaman besar terhadap hal yang berhubungan dengan partisipasi, bahkan eksistensinya.****k.tanjong