'Jendela' Sejarah Limaupurut Di Kompleks Masjid Jamik Indrapura


Belanda belajar banyak dalam perjalanan kolonialisme yang diterapkannya di Nusantara. Legiun 'Van Oranje' luluh lantak oleh Perang Aceh nan tak kunjung padam. Belum habis lagi, Perang Paderi yang dikomandoi Tuanku Imam Bonjol berkobar, begitu pula Perang Jawa yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro dan Sentot Ali Basya yang kemungkinan dilatih kemiliteran modern oleh para perwira Kekhalifahan Utsmaniyyah, Istanbul.

Menyikapi itu, Pemerintahan Nederlandsche Indie mengubah cara: politik etis diterapkan. Pendekatan ke warga koloni tidak lagi mengedepankan ala represif militeristik, namun lebih mengedepankan cara-cara yang dinilai lebih halus dan minim risiko keuangan akibat perang berkepanjangan: persuasif,kultural dan membuka lebih luas kesempatan bagi pribumi mengenyam pendidikan formal.

Plus, aspek bisnis lebih digalakkan. khususnya pada areal yang diproyeksikan berkembang dengan adanya pembukaan perkebunan-perkebunan monokultur berbasis konsesi lahan. Investor asing pun dilibatkan sebagai penyewa tanah yang pada dasarnya dikuasai atau dalam naungan sultan maupun raja tempatan. 

Masjid Jamik Indrapura

Setelahnya, boleh dibilang tak lagi ada catatan pembakaran rumah ibadah kaum muslimin, seperti yang mereka lakukan terhadap Masjid Raya Baiturrahman, Banda Aceh. Justru pada kawasan-kawasan tertentu yang digarap sebagai titik penting pertumbuhan ekonomi, bebas berdiri masjid-masjid baru.Diantaranya yang kini dikenal sebagai Masjid Jamik Indrapura.

Memang, kapan persisnya masjid yang masih berdiri kokoh itu didirikan masih mengundang tanda tanya. Wajar, tidak ada prasasti khusus, atau sebentuk dokumen otentik yang ditemukan menerakan hal itu. Ada yang bilang pada Tahun 1935, namun ada juga yang menyebut pembangunannya pada 1929.

Dalam hal fungsionalitas, masjid yang masih memiliki sebentuk mimbar tua bertangga itu adalah bangunan yang selama beberapa dekade senantiasa menjadi tempat kaum muslimin beribadah.

Namun ia serta sejumlah makam bersisian dengannya yang berada dalam satu kompleks lahan, juga menjadi bagian tersendiri dari sejarah masyarakat Melayu tempatan, terlebih bagi yang punya hubungan darah langsung dengan pendiri Kedatukan Tanjung Limaupurut.

Makam Entjik Sri Bulan Binti OK.Sendeh serta ibundanya Entjik Ulung Urai misalnya, adalah bukti penting yang terkait dengan kesejarahan kedatukan yang menurut catatan yang ada berasal dari Negeri Palangki, kawasan di bagian tengah mengarah ke Selatan bentangan Pulau Sumatera.

Sayangnya, sejauh ini tidak awam diketahui letak peristirahatan terakhir Datuk Umar Palangki dan Datuk Mat Janggut.

Upaya Memahami Sejarah

Mengenangkan sejarah Melayu Tanjung Limaupurut, maka rentetan peristiwa dramatis yang tersampaikan dari mulut ke mulut lintas generasi, maupun yang kemudian tertuang dalam naskah yang terkabarkan menimpanya tak pelak melintas jua dalam benak. 

Boleh jadi, semua yang berlaku merupakan buah dari pergulatan politik pengaruh, termasuk upaya penguasaan wilayah oleh salah satu kolonialis dunia yang bernama Belanda tersebut.

Mengenai segenap itu, adakalanya jua memantik perhatian kalangan-kalangan tertentu untuk mendalaminya sebagai objek kajian dalam hal pemahaman sejarah. Misalnya, mengenai kisah tragis mangkatnya OK Momat (ada yang menyebutnya Datuk) yang terjadi pada masa-masa awal berdirinya kedatukan. Tapi cukuplah tuan.

Namun demikian, tujuan memahami sejarah yang paling mulia adalah upaya suatu komunitas masyarakat untuk menata masa depannya menjadi lebih baik. 

Karena sejarah juga mengandungi pembelajaran mengenai jati diri dan hasrat-hasrat terbesar manusia yang berada dalam lingkarannya.

Lalu dengan manfaat memahami sejarah itu, akankah nama Melayu Tanjung Limaupurut akan semerbak lagi pada masa hadapan, siapa tahu? ****k.tanjong


Lebih baru Lebih lama