Redefinisi, Melapukkah Demokrasi?


Demokrasi telah menjadi sesuatu yang diterapkan oleh banyak negara di dunia ini dalam membentuk dan menjalankan pemerintahannya masing-masing. Telah berbilang abad ianya eksis dengan beragam corak.

Kini demokrasi mulai direview. Wacana mengenai redefinisi yang mungkin dalam Bahasa Melayunya dapat diartikan pemaknaan ulang, telah mulai digulirkan.

Tidak tanggung-tanggung, hal itu disinggung dalam pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Demokrasi. Soal perlunya redefinisi disampaikan oleh Presiden Amerika Serikat Joe Biden.   

Bukan hanya itu, KTT yang digelar 9-10 Desember tersebut juga memuat sejumlah catatan penting mengenai terjadinya apa yang mereka sebut sebagai kemunduran berdemokrasi pada sejumlah negara pada belahan-belahan dunia. 

Mengenai pentingnya redefinisi yang diutarakan pemimpin Negeri Paman Sam itu, belakangan dipandang dari sudut berbeza. Ada yang menganggap hal tersebut merupakan bagian dari strategi politik luar negeri Amerika Serikat. 

Wajar saja anggapan semacam itu muncul, karena pada momentum penting semacam KTT berkelas internasional tersebut, sejumlah negara besar seperti Cina, Rusia, Mesir, Hongaria, bahkan Turki, justru tak diundang sama sekali.

Sampai di sini, pantas saja muncul semacam kecurigaan, bahwa Amerika Serikat tengah menarik-narik pemahaman demokrasi menurut seleranya. Lebih tepatnya kepentingan strategi geopolitik internasionalnya.

Dari satu sisi, misalnya redefinisi demokrasi yang AS maksudkan punya kaitan dengan dinilai kuatnya posisi Cina dalam upaya memengaruhi negara-negara pada kawasan Indo-Pasifik. Pengaruh Cina dianggap akan membuahkan ancaman lebih dalam kepada kepentingan Amerika yang selama ini terklaim sebagai negara demokratik terbesar di dunia.

Terlepas dari itu, adanya keinginan untuk melakukan redefinisi, juga cantuman perihal apa yang disebut terjadinya kemerosotan berdemokrasi pada catatan KTT, tak pelak jua tersisip kesan bahwa kedigdayaan demokrasi mulai diragukan. Khususnya jika demokrasi dipandang sebagai salah suatu alat untuk menciptakan keadilan sosial termasuk keadilan ekonomi bagi masyarakat di mana paham itu diterapkan.

Walau secara tekstual berbeza, tapi tindakan Jepang untuk meninjau ulang model kapitalisme di negerinya belum lama ini, tampaknya punya resonansi yang sama dengan semangat melakukan redefinisi demokrasi seperti yang disampaikan Presisen Amerika Serikat, Joe Biden.

Soal redefinisi itu, tak salah pula jika ada yang melihat dalam perspektif lain. Demokrasi dinilai telah mulai usang. Mulai gamang dalam menjawab tuntutan zaman. 

Bak perahu, ia mulai melapuk. Kebocoran mulai tampak dan perlu ditambal di sana-sini. Jika analogi itu tepat, maka dapat dibayangkan bahwa perahu itu akan ditingggalkan. Akan ada sesuatu yang menggantikan, atau kembali digunakan.

Terkait dengan itu, menarik jika mengamati bahwa perekonomian bermodel shariah nan Islami telah kembali menjadi tren bagi kelompok-kelompok masyarakat di Benua Eropa. Sistem berbagi hasil antara pemilik dan pekerja diterapkan pada sejumlah unit-unit usaha yang dijalankan.  

Lalu, apakah demokrasi akan benar-benar ditinggalkan? Biarkan zaman dan peradaban yang dikandunginya akan menjawab soal itu. Karena secara alamiah, manusia berkecenderungan kembali ke fitrah.**** k.tanjong

Lebih baru Lebih lama