Pengentasan Kemiskinan Di Batubara Butuh Pemerintahan Yang Bisa Dipercaya

.
Ada sebentuk data yang mengagetkan mengenai nasib buruk rakyat di Kabupaten Batubara. Di daerah tersebut kemiskinan bak permanen. Dalam kurun sekira satu dekade terakhir, angkanya masih berkisar 12 persen. 

Memang tahun lalu, tercatat penurunan angka menjadi 11,88 persen dari sekira 400 ribuan jumlah penduduk. Apakah menggembirakan? Tidak juga. Karena prestasi itu, justru masih lebih buruk dari Tahun 2014 sebesar 11.25 persen. Dan cuma beda tipis jika dikomparasikan dengan Tahun 2013 yang tercatat 11,92 persen.

Soalnya bukan main-main. Dari garis kemiskinan yang terdatakan, pada poverty line nya setiap orang yang disebut miskin itu cuma mampu mengumpulkan sekira Rp. 450 ribuan saja perbulan. Itu artinya,kemampuan setiap individu pada kelompok itu, hanya mampu menghidupi dirinya dengan Rp.15.000-an saja. Jadi sekira USD 1 tok perhari. Padahal, Bank Dunia sempat membuat batasan, bahwa seseorang dikatakan miskin jika cuma mampu menghasilkan USD 1.9 perhari.

Kalau standar Bank Dunia dijadikan acuan, dapat diperkirakan, sesungguhnya jumlah kemiskinan di Batubara dapat lebih membengkak lagi. Dan yang 11-12 persen itu? Agaknya lebih tepat dikatakan fakir. Atau mungkin melarat.

Kilas8 membincangkan kondisi rakyat nan teruk itu kepada salah seorang legislator Partai Keadilan Sejahtera, Amat Muktas.Tokoh yang satu ini, dikenal luas konsistensinya dalam memperjuangkan amanat rakyat. Paling tidak, salah satu indikasinya, selama menjadi anggota DPRD ia lebih memilih berada di ‘Komisi Air mata’ yang sempat dilabelkan dengan Komisi C yang sekarang Komisi III.

Pada awal-awal perbincangan, sempat disinggung sesuatu yang bersifat kondisional, dimana perekonomian rakyat diperparah dengan apa yang ramai disebut sebagai dampak pandemi korona. Jumlah kemiskinan, dianggap tetap bejibun karena sektor-sektor usaha yang terstagnasi, yang negatif terhadap sumber pendapatan dan lapangan kerja.
Namun, musibah bukanlah satu-satunya sumber masalah.

Terungkap pula, penurunan angka kemiskinan pada era pemerintahan daerah kali ini lebih bersifat ‘teknis’ semata. Yaitu akibat adanya koreksi terhadap penerima bantuan dalam Program Keluarga Harapan (PKH) Jumlah penerima yang dicoret, yang disebut Mukhtas sebagai ‘graduasi’ itu sebanyak 4000 keluarga. Sesuatu yang cukup fantastik. Tak pelak, itu mencuatkan kesan, pemerintah dengan pucuk pimpinan yang relatif baru bekerja telah mampu menekan angka kemiskinan yang jadi momok menakutkan itu.Walau terkesan ‘short cut’.

Tapi hal-hal lain, seperti yang bersifat sistematik yang turut bertanggungjawab terhadap lestarinya besaran jumlah penduduk miskin di Batubara, seperti upaya meraup PAD melalui pajak dan retribusi juga disinggungnya. Berikut petikannya:

Atau begini, adanya data mengenai penurunan jumlah kemiskinan itu karena adanya pencoretan nama-nama penerima PKH itu?

Ya.Salah satu graduasi itu. Kita tahu angka kemiskinan itu 11 persen, saya yakin angka kemiskinan itu di TKS. Di TKS itu lah data masyarakat miskin yang terdaftar di  Dinas Sosial dan itu di Kemetertian Sosial.

Bagaimana penanganan secara sistematis seharusnya?

Kalau saya melihat sebenarnya sektor angka kemiskinan itu berada di level  ekonomi yang mana. Misalnya, di kalangan nelayan, kalangan petani, di kalangan pedagang. Dalam hal ini UMKM.

Salah satu contoh misalnya, dikalangan petani, untuk meningkatkan kesejahteraan petani, apalagi yang buruh tani, ya, tentu di sini harus didengarkan apa yang menjadi persoalan.

Pertama, kalau infratruktur menyangkut irigasi, saya fikir relatif telah baguslah dibandingkan 10 tahun yang lalu. Tapi dari sisi pengadaan pupuk bersubsidi itu menjadi keluhan. Oleh karena itu, pupuk bersubsidi ini cukup membantu terhadap petani kecil. Tetapi ternyata masalah itu masih dikeluhkan.

Nah kemudian yang kedua, tentang harga padi. Hasil padi mereka itu yang pada saat panen raya itu harganya tidak menggenbirakan, ini berkaitan dengan kebijakan pemerintah pusat.

Misalkan, contoh baru-baru ini pemerintah pusat akan melakukan impor beras. Nah ini kan suatu kebijakan yang kontroversi.

Nah ini bukannya hanya kewenangan dari pemerintahan lokal kabupaten,tetapi secara nasional,itu juga akan memengaruhi.

Begitu pula di sektor nelayan.Masyarakat kita di pesisir itu didominasi oleh nelayan. Nelayan yang bekerja dan nelayan kecil. Yang menjadi persoalan hari ini adalah masalah zona tangkap yang tidak selesai-selesai.

Ketika ini menjadi kewenangan provinsi, artinya bagi nelayan kecil ini kan menjadi sebuah kendala. Lahan mereka sudah dicaplok oleh nelayan-nelayan besar. Artinya ketika ada ketidaktegasan dari pemerintah yang terkait dengan persoalan-persoalalan nelayan kecil.

Rasio belanja langsung-tak langsung itu masih belum bergerak banyak dari tahun belumnya. Artinya belanja tak langsung ini masih menguasai porsi di APBD. Padahal masyarakat butuh belanja yang langsung.

Saya pikir kalau itu sudah berjalan dari beberapa tahun yang lalu, sudah cukup lama ya. Memang satu hal yang memang tak bisa terelakkan oleh negara, bukan saja di APBD bahkan APBN. Besarnya belanja tak langsung itu menjadi sebuah beban. Lebih besar belanja tak langsung dari kebutuhan riil masyarakat. Karena mungkin bisa mencapai diantara 60 persen untuk belanja tak langsung.

Tetapi sebenarnya bagaimana untuk memperkecil ini, sehinga saya memahami ketika ada wacana begitu yang sudah pensiun dari PNS itu, mereka  dibayarkan langsung. Orang sudah pensiun seharusnya kan putuskan dari beban anggaran. Tetapi mereka tetap dibelanjai.

Sampai untuk melakukan perekrutan tenaga ASN sendiri pun mempertimbangkan kemampuan keuangan negara. Otomatis makin ditambah, maka belanja tak langsung itu akan makin besar, Dan itu turun hingga ke tingkat kabupaten/kota.

Apa solusi dari FPKS kepada pemerintah agar belanja  yang langsung itu menjadi lebih besar?

Artinya kalau yang belanja langsung itu sesuatu yang tidak bisa dihindari, karena menyangkut gaji pegawai. Tetapi yang menyangkut masalah seremonial untuk  belanja kantor, yang sifatnya juga itu bagian daripada pendukung untuk pekerjaan itu, itulah yang memang seharusnya bisa dihemat.

Ya, dilakukan penghematan untuk belanja kepada masyarakat. Untuk belanja tidak langsung ini pun harus betul-betul dilakukan bahwa itu dilakukan dalam rangka memang kebutuhan masyarakat, buka keinginan. Jadi supaya apa? Dana yang dikeluarkan yang tidak seberapa ini juga bisa tepat sasaran.

Artinya sektornya kepada infrastruktur atau kepada sektor untuk memperkecil angka kemiskinan. Ini kan masalah porsi kepada  kemiskinan itu seberapa persen. Kalau ternyata juga tersedot lebih banyak di infrasturkturnya tentunya ini akan tidak selesai.

Pendapatan daerah kita baik dari retribusi, pajak bumi dan bangunan dan yang berkaitan denga asupan keuangan yang bisa masuk ke dalam kocek pemerintah. Sudah optimal belum pemerintah menggarap tu?

Saya melihat justru ya, apresiasi. Ya dengan kerja keras pemerintah untuk mendapatkan PAD (Pendapatan Asli Daerah-red). Saya melihat grafiknya angka itu selalu meningkat. Membuka peluang-peluang yang memang itu bisa memperbesar APBD kita. Tidak hanya berjalan di tempat. Maka, bagi dinas-dinas maupun OPD yang memang memiliki potensi untuk mendatangkan PAD itu supaya mereka digerakkan dan saya melihat gerakan itu sudah ada.

Cuma yang penting jangan sampai kita begitu kuatnya untuk mengambil PAD dari Bumi Batubara ini,tapi justru membebani rakyat. Apalaigi dalam situasi ekonomi hari ini.

Kita bicara masalah pajak, misalnya

Benar, saya melihat dari contoh pajak bumi dan bangunan. Terutama di IMB ya. IMB itu sebanarnya potensinya luar biasa itu, yang tidak tergali secara maksimal.

Kita masih mengikut dari dulu dan itu sedikit terabakan. Hari ini sebenarnya bisa dioptimalkan. Cuma apa yang menjadi persoalan: kita melihat bahwa Perda kita sudah ada tentang izin mendirikan bangunan itu. Sudah ada, perda retribusi untuk IMB. Cuma persoalannya, ya keadaan di masyarakat bahwa pertama besarnya anggaran (pungutan) itu dari yang seharusnya.

Contoh kalau IMB hanya membayar 500 ribu ternyata masyarakat harus membayar lebih dari itu, barangkali ya. Barangkali itu melalui calo, seharusnya itu tidak boleh. Kalau hanya 500 ribu masyarakat harus membayar itu nyatanya bisa mencapai 2 juta misalnya. Walaupun ini kemungkinan.

Jadi ini kan sosialisasi yang tidak greget, bagaimana seharusnya pemerintah harus jemput bola. Ya selesaikan saja, ini Perdanya, transparan, buka. Bangunan Anda per meter misalkan Rp.5000, jadi berapa luas? 100. Berartikan Rp.500 ribu. Tapi faktanya yang dialami mereka bisa tiga kali lipat dari itu. Itu membuat mereka apatis tidak mau.

Ada perusahan mamufaktur yang sudah punya IMB.Tapi mungkin ada pelabuhan baru atau bangunan lain yang dibangunnya yang seharusnya dipajaki, tapi belum dihitung. Itu bagaimana?

Inilah, artinya dengan keterbatasan sumber daya manusia, ya bagaimana mengawasi seluruh potensi PAD di daerah yang ada disamping kesadaran masyarakat juga yang tidak jujur.

Ketika melakukan pembangunan itu tidak melaporkan, misalnya. Ketika itu tidak melaporkan dan bagi pendapatan pajak sendiri dia tidak mengetahui tentu persoalanya akan lolos begitu saja.

 Oleh karena itu, kalau memang ada SDM tenaga man power disitu untuk memantau perkembangan di Batubara, tentunya kejar. Tentunya kejar itu melalui pendekatan persuasif. Ya benar-benar, ini pak Perdanya, bukan pak ini 'sekian-sekian' tanpa ada sebuah bukti gitu. Kan bisa Perdanya ini. Sudah bapak selesaikan aja.

Ya inikan bagaimana bisa saling memahamkanlah. Bukan memanfaatkan, memahamkan.

Apa ada kemungkinan bahwa pejabat yang memungut itu justru bermain mata dengan pihak pengusaha, atau pihak korporasi?

Nah, ini sebuah persoalan yang harus ditegaskan. Ada pegawai pemungut pajak jangan main-main. Karena akibat melakukan ini juga yang membuat masyrakat tidak mau membayar. Jadi cobalah bekerja, kalau memang perlu dia mendapatkan suatu reward.

Ya, sebuah penghargaan yang memang ada legal hukumnya. Ya namanya kerja di lapangan kan. Tapi kalau masyarakat, ya saya bayar 500 ribu. Tapi kalau yang masuk hanya sepertiga yang dua pertiga masuk kantong pribadi siapapun nggak rela.

Menurut PKS, punya relevansi tidak, transparansi pemerintahan dalam menjalankan pemerintahan termasuk pengelolaan keuangan dan anggaran dalam menurunkan tingkat kemiskinan di Batubara ini?

Ya, tingginya kemiskinan itu salah satu faktor ketidakmampuan anggaran, bisa. Ketidakmamouan anggaran itu kenapa? Karena tingkat kepercayaan 'trust' dari publik kepada pemerintah itu rendah. Jadi seandainya keperacayaan publik kepada  pemerintah tinggi dan ternyata efeknya dirasakan oleh masyarakat kembali, tentunya dengan kesadaran tinggi mereka akan mengejar: kewajiban saya akan saya tunaikan, tapi tolong dimudahkan.

Kadang-kadangkan masyarakat mau membayar pajak, mau memberikan kontribusi kepada negaar saja ada kesan dipersulit, ada apa? Kan ada kesan sepert itu.Artinya kepercayaan.

Artinya ketidakmampuan anggaran itu kan karena tidak tergalinya potensi daerah. Tidak tergalinya potensi daerah karena hilangnya kepercayaan. Terlalu banyak yang error di sana.****


Penulis      : khairul indra
Illustrasi    : kilas8
Lebih baru Lebih lama