Tuah sakti hamba negeri
Esa hilang dua terbilang
Patah tumbuh hilang kan berganti,
Tak ‘kan Melayu hilang di bumi…
Lamat-lamat senandung itu mengalun dari kejauhan. Di sini: Siak Sri Indrapura. Dahulu, pertama kali mengunjungi kota bersejarah ini, pada awal-awal Tahun 2000. Kala itu, untuk sampai ke negeri nan kaya adat tersebut, masih menyeberang dengan ferry. Ilalang berjajar di mana-mana.
Negeri Kenangan Nan Rupawan
Masa itu, rautnya bak kehilangan ‘sri’wajahnya. Muram, setelah sultan terakhirnya tak lagi berkuasa. Rupa negeri, padam, laksana kota yang luluh dialahkan bala garuda.
Berlepas dari kemuraman masa semacam itu, Siak Sri Indrapura, sejatinya memanglah rupawan, hingga payah buat terlupakan. Apalagi, banyak hal yang telah berubah menjadi lebih baik dalam kurun dua dekade terakhir.
Berada di Siak beberapa hal semacam ini mungkin akan dapat disaksikan: petang merembang, perlahan matahari beralih menyentuh tampuk peraduannya. Perahu pengangkut kayu melintas perlahan dipermukaan air sungai yang kecoklatan. Tenang tapi dalam. Di tepi, sebuah biduk tertambat.
Di sana, perempuan-perempuan muda ada di sana, bergaun panjang ala pengantin, agaknya tengah berpose pre wedding. Fotografer membidik wajah-wajah aduhai gadis itu. Jeprat-jepret. Mereka pun tersenyum bak bidadari, manis sekali. Bertingkah diantara warn llembayung di langit nan luas. Sang Caya, memang tengah bersiap beranjak sela dari semesta. Eksotik sekali.
Ya. Anda benar. Sunset ! Sama seperti para bidadari itu, kami berenam yang tengah senggang dalam tugas kunjungan Muhibbah ke LembagaAdat Melayu setempat juga turut menikmati sajian alam yang terbentang indah. Menantang.
Matahari bersinar jingga yang seakan tengah bertengger pada pucuk tiang
jembatan Sulthanah Lathifah.Cayanya berpendar kemerahan pada awan yang semakin gelap. Sungguh menjadi sebuah kenangan yang sulit lepas dari ingatan.
Tak jauh, Istana Asserayah El-Hasyimiah tegak menantang zaman. Fasad bangunan masih tampakkan keelokannya. Menempel kesan ciri khas Timur tengah atau Turki besertanya.
Malang sungguh. Sultan Syarif Kasim II diketahui tak punya anak keturunan. Itulah agaknya yang menjadi alasan kuat mengapa salah satu simbol kejayaan Melayu itu tak menjadi rumah kebesaran mahkota kerajaan.
Ia bukan lagi menjadi tempat Sultan Melayu bertampuk. Kesultanan yang dirintis raja Kecik asal Johor Malaysia itu, memang tak lagi berdetak sekira pertengahan abad ke-20, ketika paham kebangsaan merasuk massal.Terlebih pada orang-orang yang mengincar kekuasaan bertamengkan apa yang mungkin disebut sebagai : kemaoean ra'jat oemoem.
Setelahnya, istana megah itu, tak lebih hanya sekadar museum. Penuh barang rumah tangga, senapan, meriam kuno, termasuk foto-foto, juga keris pusaka. Tempat bertampuknya para sultan itu memang dapat membuat zuriat Melayu termangu, mengenangkan masa jaya nenek moyangnya yang dirasa beranjak lalu.
Jujur saja, agaknya tak akan pernah ada kata usai jika berkisah tentang negeri bernama Siak Sri Indrapura, yang sempat punya pengaruh ke hampir seluruh pesisir Sumatera bagian Timur. Hingga ke Deli, Langkat, Serdang, Temiang juga Batubara dan Negeri Pagar Awan.
Itu,semuanya bagian dari kisah yang agaknya turut dipatrikan oleh para bangsawan Istana yang kini bersemayam abadi tak jauh dari singgasana istana: di Makam Koto Tinggi.****
Teks/Foto : k.tanjong
Judul Foto : Istana Asserayah El-Hasyimiyah
Tags:
Melayu