Bencana Itu Bernama Sekulerisasi

.
Eloklah menilik sekira akhir-akhir millenium silam. Tengoklah 'paham kebangsaan' bak senjata mutakhir perongrong baharu. Terlebih bagi kalangan umat Islam.
Di Turki, setelah sistem kekhalifahan resmi dihapus 1924, gerakan kaum nasionalis yang merontokkannya, menampakkan wajah garang. Azan di masjid harus menggunakan bahasa lokal.

Upaya dilanjutkan dengan menjalankan strategi sekulerisasi nan membahayakan kehidupan penganut Islam. Mulai dari melarang muslimah menggunakan hijab, Legalisasi minuman keras, termasuk penutupan madrasah. Banyak yang lain lagi. Itu adalah sesuatu contoh.

Tapi potret sekulerisasi itu tidak selalu sama dan sebangun. Sepertinya, para penganjur ajaran itu menyiasati keadaan dengan melihat karakter dan tren di wilayah yang akan diresapi. Untuk negeri berpenduduk muslim mayoritas pada kawasan tertentu caranya bisa jadi lebih halus.

Pelarangan berhijab dan legalisasi minuman beralkohol, bisa saja tidak dilakukan. Tapi mungkin, mereka membuka peluang itu dengan menyisipkan ide pada produk hukum tertentu, 

Bahkan boleh jadi dalam konstiitusi suatu negara: tidak mewajibkan menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya.Sepenggal kalimat itu, bagi Muslim berkonsekuensi luar biasa.

Contohnya begini, seseorang wanita yang beragama Islam bisa diakui resmi oleh negara sebagai pasangan seseorang non muslim, jika ia mendaftarkan hubungannya pada instansi tertentu. Balai catatan sipil, misalnya.

Atau sesorang yang telah murtad, ia masih mungkin bisa mendapatkan hak warisan dari orang tua yang muslim, dengan cara menyampaikan tuntutan melalui pengadilan umum. 

Dalam hal ni, negara kemungkinan besar tidak akan mempertimbangkan syariat Islam, karena bukan menjadi domainnya. Sejauh yang bersangkutan dapat membuktikan secara administratif, termasuk bukti biologis.

Bagaimana pula dengan sektor ekonomi? Ketika syariat Islam diajuhkan dari penganutnya dalam sesuatu negara, maka indikator-indikator berikutnya akan menunjukkan bahwa umat Islam secara umum sebenarnya tengah digiring ke dalam kemelaratan permanen,

Lembaga-lembaga keuangan yang disahkan negara, akan dengan bebas memetik keuntungan dengan menjalankan praktek riba, Sedangkan negara membuat aturan dengan melabel warganya menjadi wajib pajak: kewajiban yang sesungguhnya menjadi pemeras keringat rakyat daripada mensejahterakannya***


Teks: k.tanjong
foto : Penunjuk arah/kilas8

Lebih baru Lebih lama