![]() |
. |
Diketahui, kekhalifahan secara mendasar, punya konsep khas dibandingkan pemerintahan lainnya yang pernah hidup di muka bumi. Ia mengandung unsur pemeliharaan, memastikan bahwa syariat Islam dijalankan dengan baik. Jika terjadi sesuatu yang dianggap tidak sejalan dengan itu, maka, tidak ada alasan bagi kekhalifahan untuk tidak terlibat menanganinya.
Kalau terpaksa, mungkin akan diambil langkah militer. Baik langsung lewat pengiriman pasukan, atau memberikan bantuan peralatan tempur.
Cara diplomasi, tentulah dikedepankan.
Rontoknya kekhalifahan, pada hakekatnya bak mimpi buruk bagi negeri-negeri yang notabene berpenduduk mayoritas muslim. Itu lah mengapa, pasca eera kekhalifahan utsmaniyah terhenti, sejumlah ulama kemudian menggagas semacam konferensi lintas negara,
Semangatnya:harus ada kepemimpinan Islam yang lestari. Walaupun mungkin tak lagi di Bumi Mehmed II. Konfernsi itu gagal. Atau digagalkan?
Faktanya, selepas kekhalifahan tak lagi punya otoritas, negeri-negeri Muslim yang dilindunginya, seperti di wilayah jazirah, hingga afrika, kemudian menjadi wilayah garapan masing-masing tetangga Eropanya.
Sesuatu yang tampaknya sudah dirancang sejak lama, terorganisir. Memang, kandungan bumi di kawasan yang dikawal Sang Khalif, adalah harta tiada tara, yang dapat membuat kaya berlimpah sesiapa yang menguasai.
Faktanya memang begitu, tak lama berselang perusahan-perusahan pertambangan orang kulit puith, bebas melakukan eksplorasi-eksploitasi minyak bumi dan gas di sana. Tak hanya dari Eropa, dari benua lain pun ikut mengeroyok harta peninggalan. Amerika contohnya.
Itu, belum lagi kekayaan pada kawasan luas yang disebut Turki sebagai negeri pulau-pulau: Nuswantara yang banyak dimukimi anak Melayu. Di sini, Inggris dan Belanda bolehlah tepuk dada.****
Teks: k.tanjong
Foto: Bendera Turki/isitmewa
Tags:
Artikel