Bius Demokratisasi Di Ranah Nasionalisme

.
Sepintas pandang,apa yang disebut nasionalisme itu membebaskan. Ia menampilkan wajah menawan dipandang khalayak. Itu karena dianggap punya jasa-jasa besar dalam upaya pengabdi-pengabdinya membidani negera-negara baru. 

Tapi benarkah ia benar-benar berjasa? Tiada ada kah ikatan moralitas lain yang lebih kuat sebagai pembanding nasionalisme tersebut? Itu tentu jadi bagian tersendiri yang perlu dijawab. 

Memang, rasa-rasanya tak sedikit yang terlena dengan raut nasionalisme itu. Begitu terpesonanya hingga tak menyadari bahwa paham itu menjadi top soil yang baik bagi tumbuhnya anasir-anasir yang sejatinya membinasakan kemanusiaan. Walau kerap pelan dan senyap.

Dapat dicermati, setelah nasionalisme menjadi sesuatu yang mewabah, maka, partai-partai politik lah yang kemudian bermunculan. Ya, begitulah ciri paham itu: demokratisasi. 

Paham itu, membius dengan slogan 'rakyat memegang kekuasaan tertinggi' Walau pada praktiknya dalam aspek-aspek tertentu akan berkata lain.'Kekuasan tertinggi' yang dimiliki itu realitasnya tak cukup berdaya. 

Bukankah masalah distribusi kekayaan negara menjadi sesuatu yang kerap dikeluhkan. Rakyat cuma bisa menggerutu ketika menyadari fakta bahwa yang paling banyak meraup manisnya 'kekuasaan tertinggi' itu justru segelintir para penyelenggara, yang notabene sebagai pelayan. Atau bagi yang mewakili pada lembaga apa yang identik dengan 'Dewan Rakyat'  

Itu tidak hanya terjadi-pada satu-dua negara. Tak kesah lah model demokratisasi apa yang diberlakukan. Entahlah kalau 'demokrasi terpimpin'.

Nasionalisme yang melahirkan demokratisasi, adalah unsur yang bertanggungjwab terhadap tak cukup berdayanya 'hikmat dan kebijaksanaan' dalam pengambilan keputusan. Karena secara sederhana demokratisasi cuma terbatas pada upaya menghitung jumlah, bukan 'isi kepala'. Menyedihkan****

Teks : k.tanjong
foto  :  pilar-pilar nasionalisme
Lebih baru Lebih lama