![]() |
Bahasa Melayu Ketika ID Card Tak Kuasa Menyekat |
Itu bisa dicontohkan dengan kejadian seperti ini: pada salah suatu perhelatan, beberapa orang berkumpul, ada yang dari Malaysia, Thailand, Singapura, termasuk dari Indonesia. Agaknya ada pula yang dari Filipina dan yang sengaja datang dari neger-negeri sekitar kawasan Pasifik.
Aneka perbincangan yang terjadi, begitu lancar. Mereka berbahasa Melayu. 'Nationality' yang mungkin tercantum dalam ID card resmi, tak lagi menjadi batas pemisah ketika itu. Ragam logat? Itu lumrah.
Mereka yang pada sepit mata antropologi punya kesamaan kuat, bicara satu bahasa, Berarti, bukankah mereka Bangsa Melayu?
Salah seorang dari kumpulan itu, kemudian bak bergumam mengenai malangnya nasib anak Melayu yang harus berpisah bangsa hanya karena berbeda penjajah.
Lalu muncul asumsi: bahwa kemalangan dalam bentuk penyekatan kebangsaan itu, bukanlah merupakan sesuatu hal yang tidak tak terancang oleh pihak-pihak tertentu Melayu yang lekat dengan nilai-nilai ke Islaman harus berberai.
Dan apa yang disebut 'nationality-nasionaliteit-nasionalitas' adalah senjata yang ampuh. Dijadikan sekat. Kebangsaan semu yang tercipta tebukti dahsyat.
Ia jadi bak pisau bermata dua. Satu sisi ia menjadi bak berkah bagi negeri-negeri yang kemudian disebut 'merdeka', Tapi disatu sisi ia juga jadi 'pembelah, pemisah, penyekat' anak-anak Melayu.
Generasi yang kabur mengenai jati diri kebangsaannya, bakal mengalami kondisi yang memperihatinkan. Bukan hanya akan mudah dikuasai, tapi juga tak sulit untuk dibenturkan satu sama lain.
Bisa jadi berujung konfrontasi. Bertempur, saling menumpahkan darah, sesama bangsa. Melayu. Divide et impera, divide and rule, yang jadi semboyan bangsa asing, tampakya adalah lagu lama yang akan terus berulang. Walau beda-beda versi.***
Teks/foto :k.tanjong
Judul Foto :Flo de lamar ikon imperialisme di Negeri Melayu
Tags:
Melayu