Ada yang tak biasa pada dinamika politik di ranah DPRD Batubara belakangan ini. Disebut tak biasa karena sejauh yang diketahui publik, hal itu baru pertama kali terjadi. Yaitu, alotnya kesepakatan untuk menciptakan fraksi-fraksi dalam tubuh parlemen setempat.
Jelas saja, fenomena tersebut tentulah mengundang tanda tanya di kalangan rakyat. Begitu sulitkah mekanisme pembentukan fraksi, sampai-sampai belum wujud jua seusai pelantikan November silam? Kepentingan apakah dalam benak parpol-parpol pemilik kursi sehingga menjadi sangat hati-hati menetapkan koalisi? Atau yang paling ekstrim, adakah alotnya pembentukan fraksi dipengaruhi faktor politis pasca pilkada yang memenangkan Bahar-Syafrizal?
Dari sejumlah tanya itu, tentulah pertanyaan terakhir yang paling menarik. Terlebih dalam perkembangan terakhir Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan yang praktis menjadi pengusung utama Zahir yang kalah pilkada, telah teguh memiliki satu fraksi utuh dengan 10 kursi di legislatif. Begitupula dengan Demokrat, Nasdem (parpol pengusung Darwis-Oky) dan Hanura (pendukung Zahir-Aslam) yang dikabarkan telah komit berada dalam satu fraksi.
Dalam alam demokrasi, hal semacam itu wajar terjadi. Kalau pun itu tidak dimaksudkan untuk menentang dan menantang mantan rival yang tak lama lagi akan dilantik menjadi bupati-wakil bupati, tapi setidaknya hal itu dapat dimaknai sebagai bentuk 'perlawanan' politis nan normal.
Karena memang sejatinya, menghadapi pilkada, manakala parpol bersikap mendukung atau tidak mendukung pasangan calon tertentu boleh jadi dipicu oleh alasan bersifat fundamental. Misalnya yang berhubungan dengan kesamaan visi pembangunan. Atau mungkin, malah yang lebih remeh-temeh seperti masalah isme ke-sukuan, prasangka buruk tertentu, juga ketidaksukaan secara individual
Keberadaan fraksi, dapat menjadi bagian tersendiri dalam upaya perlawanan itu. Karena fraksi adalah kekuatan di DPRD yang punya kewenangan dalam memberikan pandangan umum terhadap usulan-usulan pemerintah, termasuk kemudian menyetujui atau justeru tidak menyetujuinya dalam padangan akhir.
Fraksi, pada faktanya juga punya peranan strategis, karena ia berwenang untuk melontarkan masukan, juga kritik terhadap pemerintah. Baik terhadap usulan rancangan peraturan daerah, juga tak tertutup kemungkinan terhadap praktek realisasi pembangunan yang telah berjalan. Dalam situasi yang khusus, kalau mau, fraksi-fraksi juga bisa menguliti mentah-mentah kebijakan pemerintah kabupaten.
Nah, dengan kewenangan semacam itu yang relatif bisa jadi ancaman politis bagi Bahar-Syarfizal menjalankan tugas pokok dan fungsinya, tentu menjadi sesuatu yang tak dapat diabaikan begitu saja. Karena biar bagaimanapun, pemerintah daerah, jelas menginginkan hubungan kelembagaan yang solid sekaligus langgeng antar eksekutif-legislatif.
Bupati-wakil bupati terpilih agaknya turut memandang serius persoalan ranah perwakilan rakyat itu. Walaupun di atas kertas, parpol pengusung Bahar-Syafrizal, yang dapat membentuk satu fraksi utuh seperti Gerindra, PKS dan PAN sebenarnya dapat dipandang kuat menjadi penyokong pemerintahan.
Sejauh ini, publik belum tahu pasti bagaimana kesepakatan mutakhir parpol yang punya kursi di Batubara dalam menghadapi pembentukan fraksi-fraksi di kancah DPRD itu. Tapi yang jelas, rakyat menginginkan agar pembangunan bagi kesejahteraan dan kemakmuran bersama dapat segera terealisasi. Tanpa kendala nan berarti.****k.tanjong