Batubara: Lilitan Kemiskinan Yang Nyaris Permanen

 
.
Kemiskinan yang permanen adalah bak mimpi buruk yang menakutkan bagi banyak orang. Di Batubara, keinginan kuat memekarkan diri dari Asahan, dapat diduga kuat didasari pada suatu hal: masyarakat, ingin segera lepas dari lilitan kemiskinan itu. 

Agaknya, itulah mengapa pemerintahan kabupaten baru yang terbentuk kemudian,menempatkan kalimat Sejahtera Berjaya melekat sebagai semboyan daerah.

Tapi adakah kondisi itu tercapai? Jawabnya masih jauh panggang dari api. Penyandang status miskin masih 'beserak' kata orang kampung. Itu belum lagi orang yang nyaris miskin.

Ia menjadi sesuatu yang dapat dikatakan permanen. Walau faktanya, tak sedikit biaya yang telah dihabiskan dalam program-program yang dijalankan pemerintah selama ini. Pucuk pimpinan daerah, juga telah beralih-alih estafet.

Lalu, apa indikatornya, dan apa yang dapat dijadikan argumentasi mengenai kemiskinan yang nyaris identik dengan nama daerah itu, menjadi sesuatu yang tak dapat dibantah?

Sebentuk data resmi yang mengandung informasi mengenai hal itu memaparkan, hingga Tahun 2020 saja, angka garis kemiskinan yang dapat terkalkulasikan sebesar 11.88 persen dari sekira lebih 400.000 jiwa yang tercatatkan.

Angka itu sama sekali tak jauh bergerak dari tahun sebelumnya yang diterakan 12.14 persen.
Celakanya, angka kemiskinan Tahun 2020 itu, ternyata lebih buruk dari Tahun 2014 dengan angka 11,25 persen.

Itu dari segi persentase. Bagaimana pula kemampuan daya penghidupan bagi penduduk berkategori miskin itu? 

Ternyata lebih mengagetkan lagi, karena poverty line nya hanya mampu membukukan pendapatan Rp.452.393 perbulan. Artinya orang yang disebut miskin itu hanya mampu menghidupi dirinya sekira 1 Dollar Amerika perharinya.

Dengan pendapatan memperihatinkan seperti itu, boleh jadi setiap orang yang disebut miskin di Batubara hanya mampu membiayai sekadar 'lepas makan dan minum' Lain tidak. 
Miris sekali. Kalau ada seseorang yang menyebut bahwa kondisi seperti itu lebih tepat disebut fakir, tentu susah nak buat tampik.

Masalah itu bukanlah sesuatu yang tidak untuk diperhatikan dan dipikirkan solusinya secara sungguh-sungguh. Semestinya banyak yang ikut ambil partisipasi dalam pengentasannya.

Namun, dalam hal ini, pihak eksekutif, dalam kapasitasnya sebagai institusi yang berwenang membuat kebijakan, tentu  sangat diharapkan ekstra peranan pentingnya,

Pada pemanfaatan anggaran, misalnya, harus ada perbandingan yang masuk akal dalam pengeluaran biaya belanja langsung-tak langsung.

Disisi lain,dalam pelaksanaan pembangunan yang menelan dana yang tak sedikit, seperti infrastruktur, faktor kualitas haruslah jadi prioritas dalam kuantitas yang dilaksanakan. Sekadar isi tas? Payah nak cakap.****



Teks: k.tanjong
Foto: M.qodri
Lebih baru Lebih lama