Palangki Land


Tanjung Limaupurut bak buah bibir lintas generasi. Terlebih bagi warga yang mendiami pesisir Timur Sumatera. Sebutan itu, adakalanya akrab dikenali sebagai nama sebuah kedatukan yang mula berdiri di kawasan Kualatanjung, Batubara.

Sejauh ini ada versi-versi tersendiri menerakan munculnya kedatukan Melayu di 'Negeri Palangki' tersebut. Ada yang memaparkan, itu terjadi pada pertengahan abad ke-18. Tepatnya Tahun 1750.

Namun, dalam salah suatu catatan sejarah yang lain, inilah yang terjadi: bahwa keberadaan kedatukan itu berkaitan erat dengan dampak perselisihan kaum adat dengan kaum ulama di wilayah Pagaruyung, kerajaan baru yang hidup setelah Dharmasraya.

Itu pada abad ke-19. Situasi memburuk akibat ulah campur tangan Belanda yang dikenal gemar memainkan politik devide et impera; pecah- belah, lalu kuasai.
Di era 'vivere peri coloso' tersebut. Dalam suatu pelayaran, Datuk Umar asal Palangki berikut keluarga dan sanak, berlayar menyisiri Selat Malaka. 
Masa, kemudian membawa Datuk Umar melirik suatu daratan bersungai. Naik sedikit ke  hulu, terdapat semacam pematang pasir. 

Di sana perahu berlabuh. Titik dimana mereka bermukim, kelak jamak dikenal sebagai Limaupurut. Entah karena mereka yang menanam, atau jenis jeruk itu memang sedari awal ramai tumbuh liar.

Tak berselang lama, sebentuk kedatukan di dirikan. Ada nama-nama yang lekat semasa bermula pemerintahan: Panglima Tenggang, Panglima Itam. Juga Mat Janggut ipar Datuk Umar.

Menilik sebilah peta yang tampaknya merupakan areal diperuntukkan buat investor perkebunan mancanegara oleh Belanda, wilayah kedatukan yang awalnya pada suatu noktah di Limaupurut telah meluas hingga ke bahagian hulu Sungai Tanjung, bersempadan Simalungun di bibir Bahbolon.

Entah apa agaknya tuah Datuk Umar Palangki. Bersilam waktu, sisi pesisir di sekitar Limaupurut tempat ia membangun kedatukan, kini telah menjadi titik penting pertumbuhan sektor industri dan pelabuhan berkualifikasi internasional.

Namun sayang, gemerlap itu, yang turut disertai dengan limpahan kapital yang masuk, sepertinya hanya banyak dinikmati segelintir orang, atau kelompok tertentu. Agaknya, tak sedikit jua pemukim tempatan yang masih bernasib malang. Bergelimang kemiskinan.

Belum lagi, kehidupan dan penghidupan yang terancam akibat kerusakan parah pada ekosistem laut dan pesisir. Juga abrasi.***

tim kilas8 


Lebih baru Lebih lama